Oktober 26, 2012

Festival di Jepang #1 "Hinamatsuri"


Naikkan bendera ikan koi dan siap-siap piknik dibawah bunga Sakura...

Dalam manga, mungkin kita sering membaca tentang festival-festival yang sering diadakan di dunia nyata. Tapi tau nggak? Sebenarnya festival itu diangkat dari budaya asli yang ada di Jepang. Biar nggak bingung, yuk kita kenali cerita dibalik festival itu!


Hinamatsuri (雛祭り, ひなまつり) Dirayakan setiap: 3 Maret

Hinamatsuri (雛祭り, ひなまつり) atau Hina Matsuri adalah fastival boneka. Pada hari itu semua keluarga di Jepang yang memiliki anak cewek bakal memajang boneka yang memakai kimono. Boneka tersebut disusun satu set diatas rak. Boneka itu adalah boneka raja, ratu, menteri, pelayan, dan pemusik di kerajaan. Orang disana yakin kalau deretan boneka itu mampu melawan kekuatan jahat, sehingga si pemilik bisa terhindar dari bahaya. Festival ini juga sering disebut Festival Anak Cewek.

a) Susunan boneka

Boneka dipajang di atas panggung bertingkat (dankazari) yang dilapisi selimut tebal warna merah (hi-mōsen)

  • Tangga teratas, deretan teratas diisi oleh dua boneka yang merupakan simbol kaisar (o-dairi-sama) dan permaisuri (o-hina-sama). Peletakan urutan kanan atau kiri baik untuk kaisar maupun permaisuri di wilayah Kansai dan Kanto berbeda, namun untuk setiap anak tangga berikutnya susunan bonekanya selalu sama.
  • Tangga kedua, Boneka yang dipajang pada tangga kedua yaitu boneka puteri istana yang berjumlah 3 orang (san-nin kanojo) lengkap dengan peralatan minum sake. Boneka putri yang diletakkan di tengah membawa mangkuk sake (sakazuki), sedangkan dua putri lainnya masing-masing membawa poci sake (kuwae no chōshi) dan wadah sake yang disebut (nagae no chōshi).
  • Tangga ketigaLima boneka pemusik pria (go-nin bayashi) berada di tangga ketiga. Semuanya membawa alat musik seperti taiko, okawa, kotsuzumi dan seruling, kecuali penyanyi hanya membawa kipas lipat.
  • Tangga keempat, dua boneka menteri (daijin) yang terdiri dari Menteri Kanan (Udaijin) dan Menteri Kiri (Sadaijin) berada di tangga ke-4.
  • Tangga kelima, pada tangga kelima diletakkan tiga boneka pesuruh pria (shichō) yang masing-masing membawa bungkusan berisi topi (daigasa).

b) Hidangan

selain satu set boneka yang dipajang di rumah ada juga makanan yang dibuat khusus untuk anak perempuan yang merayakan Hinamatsuri. Sajian tersebut antara lain kue hishimochi, kue hikigiri, makanan ringan hina arare, sup bening dari kaldu ikan tai atau kerang (hamaguri ), serta chirashizushi. Selain makanan, minumannya pun juga dibuat khusus untuk hari itu seperti, sake putih (shirozake) yang dibuat dari fermentasi beras ketan dengan mirin atau shochu, dan koji. Selain sake putih ada juga sake manis (amazake) yang dibuat dari ampas sake (sakekasu) yang diencerkan dengan air dan dimasak di atas api.

c) Sejarah

Berdasarkan kalender lunisolar, hari ke-3 bulan ke-3 adalah momo no sekku (perayaan bunga persik), karena bertepatan dengan mekarnya bunga persik. Oleh karena itu Hinamatsuri dirayakan tiap hari ke-3 bulan ke-3. Namun perayaan itu berubah ketika kalender Gregorian mulai digunakan di Jepang pada tanggal 1 Januari 1873. Sejak saat itu perayaan Hinamatsuri berubah menjadi tanggal 3 Maret. Meskipun demikian, sebagian orang masih ada yang lebih memilih perhitungan kalender lunisolar saat merayakan Hinamatsuri (sekitar bulan April pada kalender Gregorian)

Sekitar abad ke-8 ada kebiasaan bermain boneka di kalangan anak perempuan bangsawan istana pada zaman Heian. Biasanya boneka yang dimainkan lengkap dengan rumahnya yang berbentuk istana. Kemudian permainan tersebut dikenal dengan hina asobi. Faktanya, hina asobi adalah sebuah permainan belaka dan bukan merupaka suatu ritual. Meskipun begitu, sejak zaman Edo yakni sekitar abad ke-19, hina asobi mulai dikaitkan dengan perayaan musim semi. Seperti perayaan musim lainnya yang biasanya disebut matsuri, sehingga hina asobi diubah menjadi Hinamatsuri dan perayaannya pun tidak hanya di kalangan istana saja melainkan meluas di kalangan rakyat. Orang Jepang di zaman Edo terus mempertahankan cara memajang boneka seperti tradisi yang diwariskan turun temurun sejak zaman Heian. Boneka dipercaya memiliki kekuatan untuk menyerap roh-roh jahat ke dalam tubuh boneka, dan karena itu menyelamatkan sang pemilik dari segala hal-hal yang berbahaya atau sial. Asal-usul konsep ini adalah hinanagashi (“menghanyutkan boneka”). Boneka diletakkan di wadah berbentuk sampan, Lalu dihanyutkan dalam perjalanan menyusuri sungai hingga akhirnya sampai ke laut dengan membawa serta roh-roh jahat. Kalangan bangsawan dan samurai pada zaman Edo menghargai boneka Hinamatsuri sebagai modal penting untuk wanita yang ingin menikah sekaligus sebagai pembawa keberuntungan. Para orang tua berlomba-lomba membelikan boneka yang terbaik dan termahal bagi putrinya yang ingin menjadi pengantin Sebagai lambang status dan kemakmuran.

Boneka yang digunakan pada awal zaman Edo disebut tachibina (boneka berdiri) karena boneka berada dalam posisi tegak, dan bukan duduk seperti yang sering digunakan dalam perayaan saat ini. Asal-usul tachibina adalah boneka berbentuk manusia (katashiro) yang dibuat ahli onmyodo untuk menghalau nasib sial. Boneka dalam posisi duduk (suwaribina) mulai dikenal sejak zaman Kan’ei. Pada waktu itu, satu set boneka hanya terdiri sepasang boneka yang keduanya bisa dalam posisi duduk maupun berdiri. Seiring dengan perkembangan zaman, boneka menjadi semakin rumit dan mewah. Pada zaman Genroku, orang mengenal boneka genrokubina (boneka zaman Genroku) yang dipakaikan kimono dua belas lapis (jūnihitoe). Pada zaman Kyoho, orang mengenal boneka ukuran besar yang disebut kyōhōbina (boneka zaman Kyōhō). Perkembangan lainnya adalah pemakaian tirai lipat (byōbu) berwarna emas sebagai latar belakang genrokubina dan kyōhōbina sewaktu dipajang. Keshogunan Tokugawa pada zaman Kyōhō berusaha membatasi kemewahan di kalangan rakyat. Boneka berukuran besar dan mewah ikut menjadi sasaran pelarangan barang mewah oleh keshogunan. Sebagai usaha menghindari peraturan keshogunan, rakyat membuat boneka berukuran mini yang disebut keshibina (boneka ukuran biji poppy), dan hanya berukuran di bawah 10 cm. Namun keshibina dibuat dengan sangat mendetil, dan kembali berakhir sebagai boneka mewah. Sebelum zaman Edo berakhir, orang mengenal boneka yang disebut yūsokubina (boneka pejabat resmi istana). Boneka dipakaikan kimono yang merupakan replika seragam pejabat resmi istana. Prototipe boneka Hinamatsuri yang digunakan di Jepang sekarang adalah kokinbina (translasi literal: boneka zaman dulu). Perintis kokinbina adalah Hara Shūgetsu yang membuat boneka seakurat mungkin berdasarkan riset literatur sejarah. Boneka yang dihasilkan sangat realistik, termasuk penggunaan gelas untuk mata boneka. Mulai sekitar akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji, boneka Hinamatsuri yang mulanya hanya terdiri dari sepasang kaisar dan permaisuri berkembang menjadi satu set boneka lengkap berikut boneka puteri istana, pemusik, serta miniatur istana, perabot rumah tangga dan dapur. Sejak itu pula, boneka dipajang di atas dankazari (tangga untuk memajang), dan orang di seluruh Jepang mulai merayakan hinamatsuri secara besar-besaran.

Anonim Web Developer

Morbi aliquam fringilla nisl. Pellentesque eleifend condimentum tellus, vel vulputate tortor malesuada sit amet. Aliquam vel vestibulum metus. Aenean ut mi aucto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar